Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di PT. X Kota Mojokerto, Jawa Timur, Dihubungkan dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jo. Undang-Undang Nomor 13 Tah

  • Salma Nurhaliza Rekardi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
  • Deddy Effendy Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
Keywords: Pemutusan Hubungan Kerja, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Uang Pesangon

Abstract

Abstrak. Perselisihan dalam hubungan industrial marak terjadi, salah satu penyebabnya dikarenakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). PHK mengakibatkan muncul suatu bentuk tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi hak para pekerja, seperti pemberian upah yang disebut dengan pesangon. Pesangon sering kali tidak dipenuhi oleh pihak perusahaan yang berujung dengan perselisihan tidak dapat dicegah antara pihak pekerja dan pihak pengusaha sebagai pemberi kerja, seperti yang terjadi di PT. X Mojokerto Jawa Timur. Adanya perselisihan di PT. X akibat PHK yang dilakukan secara sepihak dan pemenuhan hak para pekerja tidak diberikan. Perselisihan industrial di PT. X harus dilakukan sesuai dengan mekanisme dan tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial untuk dapat terselesaikan dan mencapai suatu kesepakatan bersama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha di PT. X Kota Mojokerto Jawa Timur karena terjadinya PHK serta untuk mengetahui pemenuhan hak-hak pekerja karena PHK di PT. X Kota Mojokerto Jawa Timur dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jo Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan menelaah sumber kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan, asas, dan teori yang relevan dengan penelitian ini. Adapun hasil penelitian diketahui bahwa PT. X melakukan tahapan penyelesaian perselisihan sesuai dengan mekanisme yang dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perselisihan terjadi dikarenakan PT. X tidak memenuhi ketentuan pemberian hak kepada pekerja setelah terjadinya PHK sepihak yang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dengan adanya pemberian pesangon.

Abstract. Disputes in industrial relations are rife, one of the causes being Termination of Employment Relations (PHK). Layoffs result in a form of company responsibility to fulfill workers' rights, such as providing wages called severance pay. Severance pay is often not fulfilled by the company, which leads to unavoidable disputes between the worker and the entrepreneur as the employer, as happened at PT. X Mojokerto, East Java. There is a dispute at PT. X due to layoffs carried out unilaterally and the fulfillment of the rights of workers is not given. Industrial dispute at PT. X must be carried out in accordance with the mechanisms and stages of industrial relations dispute resolution so that they can be resolved and reach a mutual agreement. This research aims to determine the resolution of industrial relations disputes between workers and employers at PT. X Mojokerto City, East Java due to layoffs and to find out the fulfillment of workers' rights due to layoffs at PT. X Mojokerto City, East Java is related to Law Number 2 of 2004 concerning Settlement of Industrial Relations Disputes in Jo Law Number 13 of 2003 concerning Employment. The method used in this research uses a normative juridical approach, namely by reviewing literature sources in the form of statutory regulations, principles and theories that are relevant to this research. The research results show that PT. X Carry out a stages of dispute resolution in accordance with the mechanism described in Law Number 2 of 2004 concerning Settlement of Industrial Relations Disputes, disputes occur because PT. X does not meet the provisions of granting rights to workers after unilateral layoffs that have been regulated in Law Number 13 of 2003 concerning Manpower with severance pay.

References

Pembangunan nasional, khususnya di bidang ketenagakerjaan diarahkan untuk terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pekerja. Dapat diketahui di bidang ketenagakerjaan terdapat ketidaksamaan kedudukan antara pekerja dengan pengusaha yang seringkali menimbulkan konflik, namun hal itu tidak sesuai dengan amanat Pasal 27 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 secara yuridis hubungan antara buruh dengan pengusaha dalam melaksanakan hubungan kerja mempunyai kedudukan yang sama, dalam arti mereka dapat melaksanakan secara bebas.

Seiring dengan pembangunan dalam bidang ketenagakerjaan, tampak maraknya para pelaku usaha tengah membenahi diri pasca krisis ekonomi di Asia Tenggara. Pemerintah mengupayakan segala bentuk cara untuk mengatasi global ekonomi bersama dengan masyarakat, para pelaku usaha terutama. Hal itu merupakan salah satu bentuk untuk menstabilkan perekonomian serta menghindari kebangkrutan sebagian besar perusahaan, namun hal tersebut berdampak terhadap sebagian nasib para pekerja dan berujung pada pemutusan hubungan kerja.

Menurut Umar Kasim permasalahan yang sering muncul dalam hubungan kerja adalah Pemutusan Hubungan Kerja. Dia mengemukakan bahwa berakhirnya hubungan kerja bagi tenaga kerja dapat mengakibatkan pekerja kehilangan mata pencahariannya yang berarti pula permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketentraman hidup tenaga kerja seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi, dalam kenyataannya membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.

PHK tidak dapat dilakukan secara sepihak, hal itu telah tercantum di dalam Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UUK 13/2003) menyebutkan bahwa : “Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh” . PHK yang tetap dilakukan menimbulkan sebuah kewajiban bagi pihak perusahaan sebagai pemberi kerja untuk mampu memberikan suatu penghargaan dalam bentuk sejumlah uang atau biasa disebut uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak karyawan, hal tersebut sudah dijelaskan dalam UUK 13/2003, Pasal 156 ayat (1).

Perselisihan yang sering terjadi antara pihak pekerja dan perusahaan merupakan suatu perselisihan dalam hubungan industrial. Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI 2/2004) menyebutkan bahwa: “Jenis Perselisihan Industrial meliputi a)perselisihan hak; b)perselisihan kepentingan; c)perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan d)perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”. Pokok pangkal perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha umumnya berkisar pada masalah-masalah seputar pengupahan, jaminan sosial, perilaku pengusaha yang kadang-kadang dirasakan kurang sesuai dengan kepribadian, daya kerja dan kemampuan kerja yang dirasakan kurang sesuai dengan pekerjaan yang harus diemban, dan adanya masalah pribadi.

Penyelesaian perselisihan hubungan indsutrial telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI 2/2004). Menurut Undang-undang tersebut mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dibagi menjadi dua, yaitu penyelesaian perselisihan di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan meliputi Perundingan Bipartit, dan Tripartit (Mediasi, Konsiliasi dan Arbritase). Perundingan Bipartit bersifat wajib sedangkan Tripartit (Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase) bersifat pilihan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial bila melalui perundingan musyawarah di luar pengadilan tidak mencapai kesepakatan maka akan dilanjutkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Implikasi dari maraknya Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial akibat kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pembayaran upah atau hak pekerja yang tidak terpenuhi di PT. X kota Mojokerto. PT. X melakukan PHK dikarenakan kondisi tertentu yang mengharuskan perusahaan tetap melakukan PHK kepada beberapa pekerja, dapat dikatakan PT. X melakukan efisensi pekerja di perusahaan dengan tidak diikuti penutupan perusahaan. PHK dilakukan kepada pekerja dikarenakan keadaan keuangan perusahaan tersebut sedang tidak baik dan ditambah adanya masalah internal dalam perusahaan. Hak-hak pekerja disaat terjadi PHK tidak diberikan oleh perusahaan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ditanda tangani kedua belah pihak, dimana dalam perjanjian kerja telah tercantum bahwa jika terjadi pemutusan hubungan kerja, para pekerja berhak atas beberapa haknya yaitu dengan pembayaraan upah oleh pihak perusahaan. PT. X diketahui sudah melakukan perundingan penyelesaian perselisihan melalui penyelesaian di luar pengadilan dengan melakukan perundingan bipartit.

Dengan paparan yang sudah disampaikan, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui 1) bagaimana penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha di PT. X Kota Mojokerto Jawa Timur karena terjadinya PHK dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jo Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan? Dan 2) bagaimana pemenuhan hak-hak pekerja karena PHK di PT. X Kota Mojokerto Jawa Timur dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaiain Perselisihan Hubungan Industrial Jo Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Published
2024-07-21