Konservasi Kawasan Hutan Adat dalam Perdagangan Karbon berdasarkan Paris Agreement dan Implementasinya di Indonesia

  • Aidal Rasyif Nurulhadi Universitas Islam Bandung
  • Neni Ruhaeni
Keywords: Masyarakat Adat, Hutan, Karbon

Abstract

Abstract. Land rights by indigenous peoples can be a bulwark against deforestation. Forests officially managed by indigenous peoples and local communities have lower rates of deforestation and larger carbon stocks than forests managed by the government or private parties. In Peruvian Amazonia, for example, recognition of the legality of forests by indigenous peoples and local communities reduces deforestation by 81 percent one year after land tenure certification is issued. However, the recognition of legality has only reached at least a third of the carbon stocks managed by communities in tropical and subtropical countries. Globally, only 10 percent of the world's land is officially recognized as belonging to Indigenous Peoples and local communities, although traditionally the number is far above that. Even less land area of ​​indigenous peoples and local communities is officially registered and recorded. This paper uses a normative juridical approach. The phenomenon under study is associated with related laws or regulations, namely methods that study and research primary legal materials and secondary legal materials. The use of customary forest areas in implementing REDD+ including carbon trading as a form of forest conservation must implement the principle of free, prior, and informed consent (FPIC) to indigenous peoples based on the Cancun Agreement. The Cancun Agreement produces safeguards to be integrated into the laws and regulations of the country that will implement REDD+. The research was conducted using descriptive analytical method. The researcher describes the applicable regulations with legal theories in practice related to the protection of customary forests and the rights of indigenous peoples in carbon trading to address climate change.

Abstrak. Hak atas tanah oleh masyarakat adat dapat menjadi benteng pertahanan dalam melawan deforestasi. Hutan yang secara resmi dikelola oleh masyarakat adat dan komunitas lokal memiliki tingkat deforestasi yang lebih rendah dan cadangan karbon yang lebih besar daripada hutan yang dikelola pemerintah atau pihak swasta. Di Amazonia Peru, misalnya, pengakuan legalitas hutan masyarakat adat dan komunitas lokal mengurangi deforestasi hingga 81 persen satu tahun setelah dikeluarkannya sertifikasi kepemilikan lahan. Namun pengakuan legalitas tersebut baru menjangkau setidaknya sepertiga cadangan karbon yang dikelola masyarakat di negara-negara tropis dan subtropis. Secara global, baru 10 persen lahan di dunia yang diakui secara resmi sebagai milik Masyarakat Adat dan komunitas lokal, meskipun secara adat jumlahnya jauh di atas itu. Bahkan lebih sedikit lagi luas lahan masyarakat adat dan komunitas lokal yang terdaftar dan tercatat secara resmi. Tulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Fenomena yang diteliti dikaitkan dengan hukum atau perundang-undangan terkait, dengan mempelajari dan meneliti bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penggunaan kawasan hutan adat dalam menyelenggarakan REDD+ mencakup perdagangan karbon sebagai bentuk konservasi hutan harus melaksanakan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) kepada masyarakat adat berdasarkan Cancun Agreement. Cancun Agreement menghasilkan safeguards untuk dapat diintegrasikan kedalam peraturan perundang-undangan negara yang akan menyelenggarakan REDD+. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif analitis. Peneliti menggambarkan peraturan-peraturan yang berlaku dengan teori-teori hukum dalam praktik pelaksanaanya yang terkait dengan perlindungan hutan adat dan hak-hak masyarakat adat dalam perdagangan karbon untuk mengatasi perubahan iklim.

Published
2022-08-03